Sabtu, 11 Juni 2011

Analisis Kondisi Sosial Budaya dan Sosial Politik Tionghoa Indonesia

Gotong royong ada di mana-mana, tidak hanya di Bali. Di Jawa, di Sumatra, di Kalimantan, dsb, bahkan di luar negeri sekalipun ada gotong royong, tentunya dengan pola yang berbeda-beda. Gotong royong merupakan salah satu sarana komunikasi sosial masyarakat yang paling efektif, dan sekaligus sebagai sarana adaptasi bagi anggota baru masyarakat tersebut. Siskamling adalah salah satu bentuk kegiatan gotong royong, oleh karena itu orang yang tidak mau ikut siskamling sering dianggap tidak mau bersosialisasi.


PERKEMBAGAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT TIONGHOA INDONESIA

Nenek moyang orang Tionghoa Indonesia, sejak kedatangannya dahulu bisa beradaptasi dengan masyarakat setempat. Artinya bisa bergotong royong dalam berbagai kegiatan. Kalau tidak, tidak akan ada keturunannya sampai sekarang.
Setelah sekian generasi beradaptasi dengan kelompok masyarakat sekitarnya, kehidupan sosial budaya orang Tionghoa Indonesia yang tersebar dari Sabang sampai Merauke, terbentuk dalam pola yang berbeda-beda mengikuti pola sosial budaya lingkungan masyarakat sekitarnya.

Secara berseloroh kita sering mendengar istilah Cina Sunda, Cina Jawa, Cina Padang, dsb. Dalam kenyataannya, sulit untuk membedakan kehidupan sosial budaya Cina Sunda dengan orang Sunda asli, khususnya yang sudah beberapa generasi lahir di Indonesia, karena yang membedakan mereka hanya raut mukanya saja. Begitu juga dengan orang Tionghoa yang tinggal di daerah-daerah lain, termasuk juga yang tinggal di Eropa, Amerika, Australia, dsb.

Dalam proses adaptasi tersebut, orang Tionghoa yang sehari-hari bergaul dengan masyarakat setempat yang kental ke-Islamannya, ucapan-ucapan yang berasal dari agama Islam menjadi kebiasaan sehari-hari. Bukan suatu yang aneh jika ada orang Tionghoa di daerah tertentu yang sering mengucapkan kata-kata : Isnya Allah, Astagfirullah, Assalam'mualaikum, Wassalam'mualaikum, dsb. Kebiasaan ini seringkali
dianggap "negative" oleh kelompok orang Tionghoa yang tinggal di daerah lain yang kental dengan agama non-Islam. Dalam hal ini perlu pemikiran positive dari pihak yang satu, untuk bisa mengerti pola pikir pihak yang lainnya.

Tidak jarang pula pandangan negative datang dari orang Tionghoa yang tinggal di negara-negara maju yang "menjunjung tinggi demokrasi", bahwa orang Tionghoa Indonesia tidak mempunyai keberanian untuk menegakkan hak azasinya sendiri. Mereka sering dicap sebagai orang yang apatis, yang hanya mencari selamat sendiri, yang tidak mempunyai rasa kebersamaan, yang tidak berani menentang diskriminasi rasial terhadap dirinya, dlsb.

Di sini juga perlu pemikiran positive dengan kepala dingin, bahwa diskriminasi rasial ada di mana-mana, termasuk di negara yang "menjunjung tinggi demokrasi". Fakta membuktikan, jabatan publik yang penting hampir semuanya dipegang oleh ras mayoritas, meskipun secara tekhnis cukup banyak orang-orang dari ras minorotas yang lebih mampu. Oleh karena itu muncul sindiran first class, second class, dan
third class citizen.

Juga adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri, orang Tionghoa Indonesia adalah kelompok masyarakat yang unik, yang tidak bisa diperbandingkan langsung dengan Malaysian Chinese, Singaporean Chinese, Australian Chinese, dsb. Sebagian besar orang Tionghoa Indonesia adalah keturunan campuran dari pria Cina yang datang dari Tiongkok dengan wanita setempat.



PERKEMBAGAN SOSIAL POLITIK MASYARAKAT TIONGHOA INDONESIA
Akibat perkembangan kehidupan sosial budaya yang berbeda-beda tsb, maka pandangan politik orang Tionghoa juga berkembang menjadi sangat beragam. Sejarah membuktikan bahwa organisasi sosial politik orang Tionghoa di Indonesia sejak pra kemerdekaan sangat rapuh, di dalamnya penuh dengan pertentangan pendapat satu sama lain.

Secara garis besar dikenal ada tiga macam bentuk parpol Tionghoa saat itu, dengan orientasi politik yang berbeda-beda bahkan cenderung bertentangan. Ini merupakan salah satu alasan, mengapa cukup banyak orang Tionghoa yang tidak setuju dengan pembentukan parpol berbasis ke-Tionghoa-an di Indonesia, di samping alasan-alasan lain berdasarkan pandangan politik masing-masing individu.

Sejalan dengan perkembangan politik di Indoensia, khususnya pada masa Orde baru yang melarang semua kegiatan sosial budaya yang berasal dari Cina, telah terjadi pergeseran yang siginificant dalam agama-agama orang Tionghoa Indonesia. Dalam masa pemerintahan Bung Karno, orang Tionghoa yang beragama Kristen (Katolik dan Protestan + sekte-sekte di bawahnya), umumnya berasal dari Cina Belandis (orang Tionghoa yang berpendidikan Belanda).

Sejak munculnya larangan tsb, agama Kristen menjadi pilihan utama Tionghoa Indonesia, sebagian secara diam-diam tetap bertahan dengan agama-agama Sam Kaw, dan hanya sebagian kecil yang memilih agama Islam. Pergeseran ini telah mendorong perkembangan agama Kristen yang cukup pesat pada masa Orde Baru, sehingga berpengaruh pula pada kekuatan politik yang berlandaskan agama Kristen di Indonesia dan sekaligus merubah pandangan politik sebagian orang Tionghoa Indonesia.

Secara garis besar kekuatan politik yang berlandaskan agama Kristen di Indonesia dapat dibagi dua, yaitu yang berlandaskan Katolik dan yang berlandaskan Protestan bersama sekte-sekte di bawahnya. Istilah Kristen sendiri di Indonesia menjadi rancu, di mana Kristen identik dengan Protestan, seolah-olah Katolik bukan Kristen. Tapi di lain pihak ada pula yang beranggapan bahwa Katolik dan Protestan adalah sama saja. Dalam kenyatannya ada perbedaan yang significant antara paham politik berlandaskan Katolik dan Protestan.

Dengan pergeseran agama tersebut, pandangan politik orang Tionghoa menjadi lebih beragam dibandingkan masa sebelumnya. Oleh karena itu, usaha-usaha untuk mempersatukan orang Tionghoa dalam suatu wadah politik menjadi semakin kabur dan nyaris mustahil. Sehingga muncul pemikiran praktis agar pandangan politik orang Tionghoa disalurkan ke partai-partai politik yang sudah ada, dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing.



USAHA-USAHA UNTUK MENGHAPUS TINDAKAN DISKRIMINATIF RASIAL

Persoalan utama yang dihadapi orang Tionghoa Indonesia adalah tindakan diskriminatif rasial yang dilakukan SEBAGIAN KECIL anggota masyarakat, bukan semuanya. Dalam kehidupan pribadi sehari-hari, orang Tionghoa Indonesia nyaris tidak mengalami masalah yang berarti dengan masyarakat sekitarnya. Persoalan baru muncul jika berhubungan dengan isntansi pemerintah, ataupun dengan sekelompok masyarakat tertentu.

Dalam hal ini harus dibedakan antara diskriminatif resmi yang dilakukan pemerintah melalui UU & Peraturan, dan disktriminatif sosial yang dilakukan oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Dengan demikian, usaha-usaha untuk menghapus tindakan diskriminatif rasial dapat dibagi dalam 2 macam pendekatan, yaitu pendekatan hukum dan pendekatan sosial.

a. Pendekatan Hukum.
Dalam proses penyerahan kedaulatan, semua UU dan Peraturan ex Nederlansche Indie diambil alih oleh pemerintah RI. Berdasarkan hukum Ketatanegaraan Indoensia, UU hanya bisa dihapus dengan UU yang baru, di mana UU yang baru harus disyahkan DPR. Oleh karena itu banyak sekali UU dan Peraturan di Indonesia yang secara de facto masih berlaku adalah sisa-sisa peninggalan Belanda, termasuk pula UU dan Peraturan yang bersikap diskriminatif rasial terhadap Tionghoa Indonesia.

Selama masa Orde Baru, UU dan Peraturan yang rasialistis ini bukannya dihapuskan, malah ditambah dengan berbagai UU dan Peraturan lain yang lebih rasialis. Kondisi ini dimanfaatkan oleh oknum-oknum birokrat dengan semangat korupsi yang tinggi untuk memeras orang Tionghoa, yang secara kebetulan di kota-kota besar umumnya relatif lebih makmur dari kehidupan masyarakat sekitarnya.

Namun dalam kenyataannya, oknum-oknum pejabat tsb banyak yang bersahabat baik dengan orang-orang Tionghoa, sehingga sering muncul pertanyaan apakah sebenarnya oknum pejabat tsb rasialis atau hanya sekedar korupsi, tentunya dengan beberapa pengecualian. Inilah salah satu keunikan lain dari masyarakat Tionghoa Indonesia. Fakta lain, oknum-oknum pejabat tsb juga memeras kalangan non-Tionghoa yang dianggap kaya.

Dalam masa reformasi, muncul usaha-usaha untuk menghapus 62 macam UU dan Peraturan yang bersifat rasialistis, termasuk sisa-sisa UU dan Peraturan ex Nederlandsche Indie. Sesuai dengan hukum Ketatanegaraan di Indonesia, untuk mengapus UU dan Peraturan tsb bukan pekerjaan yang mudah, karena DPR saat ini masih sibuk menangani persoalan-persoalan baru yang muncul selama masa trasisi, di samping sibuk mengisi kantong pribadinya.

Dalam kenyataannya, UU dan Peraturan lama tsb walaupun de facto masih berlaku, tapi dalam kenyataannya banyak yang sudah tidak dipakai lagi. Di mata para akhli hukum, kondisi ini memungkinkan birokrat mempunyai kesempatan untuk bersikap rasialis terhadap orang Tionghoa. Para akhli hukum juga tahu, tidak mudah untuk menghapus UU sedemikian banyaknya, namun mereka tetap melaksanakan protes terhadap pemerintah, sehingga muncul nada-nada sumbang terhadap tuntutan
mereka. Sampai sekarang tidak jelas kemajuan tuntutan tsb sampai di mana.


b. Pendekatan Sosial.
Di kalangan orang Tionghoa moderat, muncul pemikiran untuk mengintensifkan kembali pendekatan sosial, dalam usaha-usaha untuk menghapus tindakan diskriminatif rasial terhadap orang Tionghoa Indonesia. Pola pendekatan sosial, sebenarnya sudah sejak lama dilakukan oleh kalangan Tionghoa Indonesia pada masa pemerintahan Bung Karno. Pemikiran baru yang muncul hanya merubah strategi pendekatan, agar lebih efektif dan efisien sejalan dengan kondisi saat ini.

Pada prinsipnya, pola pendekatan sosial yang dimaksud adalah cooperative persuasif untuk membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Dalam hal ini pola pendakatan yang dimaksud ibarat pepatah : memberi kail, bukan memberi ikan. Kail yang dimaksud bisa bermacam-macam jenisnya, antara lain melalui pendidikan, baik formal maupun informal, dan kerja sama usaha yang saling menguntungkan.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, bisa disebutkan antara lain : pelayanan rumah sakit dengan subsidi silang untuk membantu pihak yang kurang mampu, gotong royong dalam membangun sarana umum, perbaikan kampung, gotong royong dalam menghadapi bencana alam, dan lain-lain. Melalui berbagai macam pendekatan tersebut, diharapkan secara bertahap akan muncul pandangan positif terhadap kalangan Tionghoa yang selama ini cenderung dicap hanya mau mencari untung semata-mata. Dengan bergotong royong, diharapkan akan muncul pemikiran baru yang mematahkan pemikiran lama yang menganggap bahwa orang Tionghoa selalu
hidup exclusive.

Salah satu contoh yang dapat dikemukakan adalah sekolah yang didirikan oleh dr.Simon Tan di Medan. Murid-muridnya hampir semua berasal dari kalangan miskin, baik Tionghoa maupun non Tionghoa. Di luar kegiatan sekolah, tanpa pandang bulu, semua murid disuruh bekerja membuat barang tertentu, yang hasilnya untuk membiayai sekolah mereka sendiri. Dengan cara ini akan terjalin suatu rasa kebersamaan antara murid-murid Tionghoa dan non Tionghoa, yang kelak setelah terjun ke masyarakat dapat diharapkan akan menjadi pionir-pionir yang bebas
dari sikap diskriminatif. Sayangnya, informasi tentang dr.Simon Tan sangat terbatas sekali.

Contoh lain adalah usaha yang dilakukan alm.dr.Tan Tjin Hong di Bandung pada tahun 1998, sesaat setelah kerusuhan Mei 98 di Jakarta. Tidak banyak orang yang tahu, bahwa Bandung saat itu aman berkat jasa dr.Tan yang melakukan diplomasi sembako ke berbagai pihak yang mampu mengendalikan massa yang potensial melakukan kerusuhan ala kerusuhan Mei 98. Padahal Bandung saat itu sudah dijadikan target kerusuhan berikutnya setelah Solo. Uniknya, dr.Tan menghimpun dana untuk pembagian sembako tsb hanya dari bunga deposito para donaturnya,
sedangkan pokok deposito dikembalikan kepada pemiliknya masing-masing. Mustahil dr.Tan bisa melakukan diplomasi sembako kalau tidak ada hubungan baik sebelumnya.


KESIMPULAN.
a. Masyarakat Tionghoa Indonesia merupakan masyarakat yang sangat heterogen, sejalan dengan banyaknya suku-suku di Indonesia yang berpengaruh dalam terhadap kehidupan sosial budaya masing-masing.

b. Pola pikir sosial politik "pihak luar" dengan latar belakang sosial budaya yang berbeda, akan sangat sulit diterima kelompok masyarakat Tionghoa di masing-masing daerah.

c. Pandangan politik masyarakat Tionghoa, jika dikombinasikan dengan pandangan politik berdasarkan agama tertentu, bertentangan dengan paham sekularisme yang didukung hampir seluruh masyarakat Tionghoa Indonesia.

d. Pendekatan hukum dalam usaha menghapus tindakan diskriminatif rasial, secara tekhnis tidak mudah dilaksanakan dan akan memakan waktu lama. Sangat ideal jika semua UU dan Peraturan rasial bisa dihapus, tapi tindakan diskriminatif rasial tidak tergantung ada tidaknya UU dan Peraturan yang bersifat diskriminatif, tapi lebih
tergantung pada pribadi oknum birokrat yang terlibat.

e. Beberapa kasus menunjukkan, bahwa pendekatan sosial ternyata lebih efektif dalam usaha mengeliminir tindakan diskriminatif rasial, dan secara tekhnis lebih mudah dilaksanakan, meskipun secara psychologis bukan sesuatu yang mudah.
Tulisan di atas pada awal November 2002 pernah dimuat di milis tionghoa-net
( http://groups.yahoo.com/group/tionghoa-net/messages/ )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar